Selasa, 28 Februari 2012

Tersenyum menanyakan Diri (Nya)


Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak berharap
Kau membuat waktuku, tersita dengan angan tentangmu...
Mengapa begini..
Gilaaa~!! Paraah ~
Harus pake cara apa biar kamu bisa ngomong apa yang sebenernya kita mau. Ckckc, sayang … kenapa coba, aku harus berperan sebagai cewek. Bukan masalah gengsi atau jaim. Tapi setidaknya kamu yang cowok, yang bisa ngomongin hal yang pengen kamu omongin dan apa yang sebenernya paling aku mau denger. d(-o-)b
Kenapa harus aku yang nanya duluan?
Uda jelas pasti kamu tau kunci jawabannya. kalo kamu Tanya apa yang menjadi sumber keruwetan ini.
Sadarkah kau, kau menggantung diriku
Aku tak mau menunggu
Sadarkah kau ku adalah wanita
Aku tak mungkin yang memulai ,,
 
Sore itu, entah kenapa Tuhan menyeruku untuk sedikit mendengar percakapan sepasang semut disebuah lubang kecil dibawah pohon di pinggir jalan yang biasa aku lewati.
Aku menanyakan pada Tuhanku, kenapa aku harus mendengarkan percakapan mereka wahai Tuhan ..
Lantas Tuhanku menjawab singkat, Dengarkan dulu ..
Aku masih bingung. Namun kuturuti saja perintahNya. Mungkin itu cara Nya untuk sedikit memberiku jawaban dari setiap tanyaku pada Nya selama ini
***
Cukup lama untukku menyimak percakapan mereka. Ku coba untuk mengartikan satu persatu apa yang mereka katakan. Aku hanya terdiam, dan sesekali tanpa sadar ku angguk-anggukan kepalaku tanda sedikit mengerti. Ahhh… dasar payah!! Aku memang payah dalam menerka sesuatu. Aku tau mimik muka sepasang semut itu. Aku tau jika mereka sedang bahagia, karena rona wajahnya kulihat memerah tanda ada luapan kebahagiaan yang siap mereka letupkan ketika musim semi tiba beberapa hari lagi. Namun, disinilah kebodohan itu muncul. Aku bodoh, terlalu bodoh untuk mengartikan dari mana, karna apa, dan mengapa mereka bisa sebahagia itu.bodoh!!
**
Tuhan  : Bagaimana keadaan mereka?
Aku      : aku rasa mereka cukup baik, malah terlihat sangat bahagia.
Tuhan : dari mana kau tau jika mereka bahagia?
Aku      : Entahlah, aku hanya dapat melihat dari cara mereka bertatap muka, bagaimana mereka tersenyum, dan seperti apa mereka mengacuhkan sekeliling karna sibuk menyimpulkan senyum dalam setiap percakapannya.
Tuhan  : Bagaimana menurutmu?
Aku      : menurutku? Apa maksutMu wahai Tuhan?
Tuhan : (tersenyum) lantas pergi lagi. Gamang.
***
Tengah malam, menjelang pagi. Tuhanku kembali menyeruku. Kini agak sedikit berbisik. Pelan. Namun lebih tegas dari biasanya.
Aku   : wahai Tuhan, ada apa Kau membangunkannku pagi buta seperti ini? Ini belum masuk waktu shubuhMu kan. Mataku ini masih berat karena semalam aku begadang menghitung bintang. Tugasku tempo kemarin.
Tuhan : Kemarilah, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu. Aku yakin kau pasti bahagia melihatnya.
Aku : terdiam. Dan mencoba menatap lekat cahaya itu
Tuhan : sudah lihat? Percaya? Itu untukmu … tersenyumlah sekarang
Aku : itu apa? aku suka cahaya itu. Tapi cahaya itu terlalu silau untuk ku lihat dengan mata telanjang
Tuhan : (sedikit tertawa renyah) jangan gunakan matamu untuk melihatnya. Karena cahaya itu aku ciptakan bukan untuk sepasang mata. Tapi  cahaya itu sengaja aku siapkan untuk sekeping hatimu.
Aku : hati? Sekeping hati? Tapi Tuhan, bukankah hati ini telah lama terhenti? Aku tak yakin bisa menjalankannya kembali.. aku tak mampu menemukan baterai yang pas untuk ukurannya.
Tuhan : (kali ini tertawa dengan volume setingkat lebih tinggi) Tau apa kau tentang itu. Lihatlah, bagaimana aku mempersiapkannya untukmu. Cahaya itu. Yaa.. itu untukmu. Dekati ia, sapa ia, …
**
Kali ini aku mencari Tuhanku. Ku panggil Dia. Ku cari ketempat biasanya aku mengobrol dengan Nya.
~Nihil. Aku tak berhasil menjumpainya kali ini. Kenapa dengan Tuhanku? Kemana Dia?
Kau menyuruhku untuk mendengar hal terkecil yang selama ini aku coba acuhkan. Kau menyeruku untuk mendekati hal yang selama ini terus berlari menjauhiku. Kau meyakinkanku untuk terus mengejar hal itu. Mempertahankannya. Tapi sekarang ….
Tuhan aku tau jika kelebihanku, aku memiliki banyak kebodohan yang tak semua orang punya. Dan satu-satunya kekuranganku karna aku tak pernah punya satu keberanian untuk mengambil jatah kebahagiaanku.
Aku tau, jika sekarang aku mau menerima kebahagiaan darimu. Maka aku harus siap, untuk sewaktu-waktu kau ambil kebahagiaan itu. Inilah egoisku. Aku butuh, berharap dan ingin kebahagiaan itu segera ku raih. Tapi apa iya aku bisa melepasnya jika suatu saat nanti kau menagihnya. Kau menariknya. Dan Kau kembali menghempaskanku sendiri.aku takut.
Tapi ini akan lain, Jika cahaya yang telah kukenal. Yang Kau janjikan itu.  mampu bersuara padamu untuk menjagaku, menjaga senyumku. Tapi sayang, Aku sendiri tak tau apa ia benar-benar menginginkanku untuk menyentuhnya atau tidak. Meskipun banyak lilin yang mengatakan jika geliat geraknya mengatakan jika ia ingin kumiliki, begitupun aku terhadapnya.
Tapi kenapa hanya lilin-lilin itu yang berani dengan lantang meneriakkannya. Kenapa bukan cahaya itu yang mengatakan padaku. Yah, dia sudah berusaha mengatakan, menjelaskan bahkan. Tetapi itu semua kiasan. Cahaya itu hanya mampu melihatkan bias ronanya dalam remang cahaya kamarku. Indah. Sangat indah. Tapi kenapa hanya bias-bias itu yang kulihat. Aku ingin dia sesekali membakar kulitku. Sedikit sakitpun sepertinya tak apa. tapi cahaya itu terlalu baik untuk melukaiku.
Aku peka. Aku peka untuk cahaya sepertimu. Tapi aku juga butuh kau (benar-benar) yakinkan dengan hentakan suaramu. Aku ingin mendengar jika suara itu mampu menahanku untuk tidak pergi.
Aku tidak peka. Dan tak akan pernah peka. Jika cahaya itu (lagi-lagi) hanya mampu memberi bias warna kiasannya.
Aku ingin yang pasti. Aku ingin cahaya yang tadinya tak terbiasa bersuara. Kini denganku, aku mau kamu bersuara menahanku. Bukan memberi larangan untuk pergi hanya dari pajangan-pajangan cermin yang tersusun rapi mengitarimu. Tapi benar-benar sebuah suara. Meski pelan. Tapi percayakah kamu jika aku pasti mendengarnya. sayangnya tidak. kamu belum mempercayaiku untuk hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar