“ I used to be love drunk,
now I’m hungover, I loved you forever, forever is over”
We once agreed that it was
love, although you and me are nothing the same you always shine on me like the
stars above together, we give love a brand new name
But now we have to go back
into reality and end these beautiful tracks of symphony suddenly the name of
love changed to me it becomes a depressing infatuation about a never ending
agony
(Intan’s poem for Ollie)
Aku duduk sendiri di tempat
duduk yang terletak di pelataran parkir Logan International Airport. Malam
sudah cukup larut ketika pesawatku akhirnya mendarat di Boston. Musim panas
sudah sepenuhnya meninggalkan Boston, pelan-pelan digantikan oleh angin musim
gugur yang terasa sangat menusuk tulang.
Selagi menunggu shuttle
yang akan mengantarku ke penginapan, aku kembali membuka secarik kertas yang Intan
berikan kepadaku kemarin dan mengulang-ulang dua bait puisi yang tertulis di
sana.
A depressing infatuation
about a never ending agony.
Itulah nama baru yang diberikan
Intan kepada cinta kami berdua. Cinta yang sempat indah, tetapi harus terhenti
di tengah jalan.
Kulipat kertas berisi puisi
itu, lalu kuselipkan ke dalam dompetku. Setelah itu kubuka selembar foto yang
ikut terlipat bersama kertas tadi. Itu adalah foto Intan dengan wajah menghadap
ke kamera, sedang tersenyum lebar dan seluruh kulit wajahnya bercahaya indah,
cantik sekali.
A depressing infatuation
about a never ending agony.
Aku tertawa sendiri karena
menyadari betapa sempurnanya kalimat itu dalam menjelaskan perasaanku terhadap
Intan. Aku akan merindukannya. Namun, kerinduan itu akan sangat menyakitkan.
kukecup foto itu sebelum kulipat dan kuselipkan kembali kedalam dompet.
Sejenak aku berpikir untuk
menelponnya, namun setelah aku mengingat keputusannya tentang hubunganku
dengannya, aku mulai merasakan sakit yang mengoyak tubuhku, melebihi sakit yang
aku alami belakangan ini. Bagaimana tidak, ketika aku baru merasakan cinta dari
seseorang yang tak biasa dari hidupku, aku harus rela memendam egoku untuk
hidup bersamanya dengan bahagia karena dia akan menikah dengan lelaki pilihan
orang tuanya.
Aku mencintai Intan karena
kesederhanaanya, begitu pula dia.Intan sangat bahagia ketika bersamaku, itu
ucapan terakhirnya ketika mengantarku ke airport.
Aneh, dia merasa bahagia
denganku tapi tak mau hidup bersamaku…. Yahh, itulah Intan. Perempuan yang
selalu menomor duakan perasaanya sendiri dan selalu ingin melihat orang lain
bahagia.
“ aku sangat mencintaimu
Ollie, sangat.. bahkan lebih dari apa yang kamu tau, namun apa gunanya aku
bahagia jika papa tak pernah merestui hubungan kita”. Ucap Intan sambil menatapku lekat waktu itu.
Kalau Intan ingin melihat
orang lain bahagia karenanya, kenapa orang lain itu bukan aku???
Kenapa ia tak memikirkan
perasaanku ketika itu??
Kenapa ia tak lari saja
dari kehidupannya dan mengajakku untuk memulai sebuah kehidupan yang baru
bersamanya??
Kenapa??....
*itu yang selalu ada dalam
setiap lamunanku. Pertanyaan-pertanyaan itu lah yang selama ini tak sanggup
untuk Intan jawab didepanku.
Tersenyum, dan sesekali
kulihat butiran air mata terendap di pelupuk matanya.
Saat-saat seperti itulah
yang tak bisa membuatku lama untuk mengintrogasinya. Aku sangat mencintainya,
dan aku akan mencintainya dengan caraku.
“ mencintainya dalam diam.”
*5 tahun berlalu
Malam ini, aku baru menginjakkan kakiku kembali ke tanah air. Entah hal apa yang seoalah membuatku kembali ke kota yang punya banyak kenangan ini.
“ apa aku merindukan cinta
lama ku dulu? Intan? Atau ada hal lain yang ingin Tuhan tunjukkan padaku?
Entahlah…” namun, jika aku merindukan
Intan, rasanya bukan malam ini saja, karena bagiku semua malam yang aku lalui
adalah waktu dimana aku sangat merasa merindukannya.
Hari ke tigaku,
Aku menyusuri taman yang
dulu menjadi tempat paling nyaman ditengah keruwetan aktifitasku di kampus.
Yah.. lagi-lagi. Dimana ada aku pasti disitu ada Intan yang selalu berada dalam
gandenganku.
Selama 5 tahun sudah aku
mencoba melupakannya, namun rupanya usahaku melarikan diri ke Boston sia-sia.
Sekarang aku malah duduk termangu mengingat kembali masa-masa dimana aku
bersamanya menjadi makhluk Tuhan yang paling bahagia.
*didepan rumah kekasihku
dulu, Intan…
“cari siapa mas?” sapa
gadis belia yang sambil menenteng majalah di tangan kirinya.
“ mmm.. Intan. Apa bener
ini rumah Intan?? Saya ingin bertemu dengannya.”
*suasana
hening
“dek,, adek?? Intannya
ada??” sergapku berusaha membuyarkan lamunan gadis itu.
“ mari mas masuk. Saya
buatkan minum yaa.. masnya mau apa?? Es? Atau… “
“ terserah kamu saja,
terimakasih.”
*3 jam berlalu, dan…
“mas.. masnya gak pa-pa
kan??... mungkin ini memang berat. Tapi itulah kenyataannya. Kak Intan
dimakamkan di dekat pusara mama, itu permintaan terakhirnya.” Ucap adik
perempuan Intan yang sempat bersekolah mode di paris dan ternyata gadis itu
yang sering diceritakan Intan padaku, dulu.
Pelan tapi pasti, aku
beranjak dari kursi dan meninggalkan gadis yang terlihat sekilas berwajah mirip
dengan kekasihku Intan.
Bisa kalian bayangkan
tentang bagaimana kabar Intan, gadis yang sangat hebat yang bisa membuatku
tetap jatuh cinta padanya meskipun saat itu aku tau dia lebih memilih orang
lain ketimbang aku, dan tak pernah membuatku sukses untuk melupakannya, kini
dia telah tiada. Intan pergi untuk selama-lamanya 5 tahun yang lalu, persis 2
bulan setelah aku meninggalkan Jakarta.
“Intan
mencintaiku dengan diam”
Selama ini aku pikir akulah
satu-satunya orang yang paling berkorban untuknya, tetapi itu semua salah.
Intan meninggal karena
dialah pendonor hati untukku.
Aku di diaknosa dokter
mengidap kanker hati sejak umurku 20 tahun. Jika aku ingin tetap hidup, aku
harus segera di operasi. Yaa, satu-satunya cara aku harus ke Boston untuk di
operasi dan melakukan pencangkokan hati. Namun tanpa aku ketahui intan
mendaftarkan diri sebagai pendonor untukku, dan hasilnya cocok. Sebuah
kebetulan atau memang ini cara Tuhan menyatukan hati kami.
Awalnya aku keberatan untuk
di operasi, apalagi di Negara yang sangat jauh. Jarak yang jauh antara aku
dengan Intan.
Namun, Intan meyakinkanku
untuk segera pergi ke luar negri agar aku mau di operasi dengan cara ia
beralasan akan segera dinikahkan dengan lelaki pilihan papanya.ia pikir dengan
cara seperti itu aku akan kecewa, membencinya bahkan melupakannya dan semakin
membulatkan tekatku untuk pergi ke Boston karena dia akan hidup bersama dengan
orang lain yang akan dinikahinya. Padahal itu semua bohong. Untuk pertama dan
terakhir kali Intan berbohong kepadaku tentang hal sepenting ini.
“ …berarti selama ini, hati
yang membuatku tetap hidup adalah hati seseorang yang paling memotivasiku untuk
tetap hidup? hati yang seharusnya aku bahagiakan melebihi apapun didunia ini.”
“ ternyata aku yang telah
membunuh cintaku sendiri. Aku pembunuh… “
Ribuan kali aku ucapkan
kalimat itu sambil sesenggukan menyesali ketulusan Intan yang malah membuatku
merasa menjadi orang yang paling biadap.
Ingin sekali aku memutar
waktu. Aku lebih berharap jika aku tak melakukan operasi pencangkokan hati
sekalipun, aku pasti akan bisa mati dengan bahagia di dalam pelukan Intan, tak
apa jika aku di suruh memilih aku akan lebih memilih menutupkan mata dalam
pangkuan Intan, ketimbang aku harus mendengar kenyataan jika Intanlah yang
berkoraban agar aku bisa hidup lebih lama.
Kenapa aku harus melihat
nisan bertuliskan nama orang yang paling kucintai jika aku tau karena akulah
nama itu berpendar di atasnya.
Kenapa bukan aku, kenapa
bukan namaku, kenapa bukan “Ollie” yang tertulis di nisan itu…
“Dia mencintaiku dengan
diam sekarang…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar